Kamis, 07 Juni 2012

Artikel Fiqih Muamalah


ARTIKEL FIQIH MUAMALAH

                                    1. MUDHARABAH ( Kerjasama Bagi Hasil )


A.       Pengertian

Salah satu bentuk kerjasama anatara pemilik modal dengan seseorang, yang pakar dalam berdagang, di dalam fiqh islam disebut dengan mudharobah, yang oleh ulama fiqh Hijaz menyebutnya dengan qiradh.
Secara termonologi, para ulama fiqh mendefinisikan mudharobah atau qiradh dengan:
 أﻥ يد فع ا لما لك إلى العا مل ما لا يتجر فيه و يكو ن الر بح مشتر كا
Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama.
Apabila terjadi kerugian dalam perdagangan itu, kerugian ini ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal. Definisinya ini menunjukan bahwa yang diserahkan kepada pekerja (pakar dagang) itu adalah berbentuk modal, bukan manfaat seperti penyewaan rumah.

B.     Hukum Mudharobah dan dasar hukumnya

Akad mudharobah dibolehkan dalam islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Banyak di antara pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara banyak pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar saling menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama antara pemilik modal dengan seseorang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu.
Alasan yang dikemukakan para ulama fiqh tentang keboleh-an bentuk kerja sama ini adalah firman Allah dalam surat al-Muzzammil, 73: 20 yang berbunyi:

...و ا خر و ن يضر بو ن فى ا لأ ر ض يبتغو ن من فضل ا لله
dan sebagian mereka berjalan di buki mencari karunia Allah…


Dan surat al-Baqarah, 2: 198 berikut:
ليس عليكم جنا ح أ ن تبتغوا فضلا من ربكم ...
   Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu…
   Kedua ayat di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara bekerja sama mencari rezeki yang ditebarkan Allah di atas bumi. Kemudian sabda Rasulullah SAW dijumpai sebuah riwayat dalam kasus mudharabah yang dilakukan oleh ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib yang artinya:
   Tuhan kami ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seseorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharobah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah, dan tidak boleh diberikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak/berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya. (HR ath-Thabrani).

C.    Rukun dan Syarat mudharabah
Terdapat perbedaan pandangan ulama Hanafiyah jumhur ulama dalam menetapkan rukun akad mudharabah. Ulama Hanafiyah, menyatakan  bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qobul. Sedangkan menurut jumhur ulama ada tiga, yaitu :
1.   Orang yang berakad ( shahibul maal dan pengelola )
2.    Modal, pekerjaan, dan keuntungan
3.    Shigat ( ijab qabul)
Adapun syarat – syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan jumhur ulama di atas adalah:
a.   Yang terkait dengan orang yang melakukan akad, harus orang yang mengerti hukum dan cakap diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi orang yang akan mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya, syarat – syarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam akad mudharabah.
b.   Yang terkait dengan modal, disyaratkan: (1)berbentuk uang, (2)jelas jumlahnya, (3)tunai, (4)diserahkan sepenuhnya kepada pedagang/pengelola modal. Oleh sebab itu, jika modal itu berbentuk barang, menurut ulama fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya. Demikian halnya juga dengan utang, tidak boleh dijadikan modal mudharabah. Akan tetapi, jika modal itu berupa wadi’ah (titipan) pemilik modal pada pedagang, boleh dijadikan modal mudharabah. Apabila modal itu tetap dipegang sebagiannya oleh pemilik modal, dalam artian tidak diserahkan seluruhnya, menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah tidak sah. Akan tetapi, ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu berada di tangan pemilik modal, asal tidak menganggu kelancaran usaha itu.
c.      Yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing – masing diambilkan dari keuntungan dagang itu, seperti setengah, sepertiga, atau seperempat. Apabila pembagian keuntungan tidak jelas, menurut ulama Hanafiyah, akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya apabila pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian ditanggung bersama, menurut ulama Hanafiyah, syarat seperti ini batal dan kerugiaan tetap ditanggung sendiri oleh pemilik modal.
Atas dasar syarat – syarat di atas, ulama Hanafiyah membagi bentukbakad mudharabah kepada dua bentuk, yaitu mudharabah shahihah ( mudharabah yang sah ) dan mudharabah fasidah ( mudharabah yang rusak ). Jika mudharabah yang dilakukan itu jatuh kepada fasid, menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, pekerja hanya berhak menerima upah kerja sesuai dengan upah yang berlaku dikalangan pedagang di daerah itu, sedangkan seluruh keuntungan menjadi milik pemilik modal. Ulama Malikiyah menyatakan bahwa dalam mudharabah fasidah, status pekerja tetap seperti dalam mudharabah shahihah, dalam artian bahwa ia tetap mendapatkan bagian keuntungan.

D.    Macam-macam Mudharabah
Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan pemilik modal dengan pekerja, para ulama fikih membagi akad mudharabah kepada dua bentuk, yaitu mudharabah muthlaqah (penyerahan modal secara mutlak, tanpa syarat dan batasan) dan mudharabah muqqayadah (penyerahan modal dengan syarat dan batasan tertentu). Dalam mudharabah muthlaqah, pekerja diberi kebebasan untuk mengelola modal itu selama profitable. Sedangkan, dalam mudharabah muqayyadah, pekerja mengikuti ketentuan-ketentuan yang diajukan oleh pemilik modal. Misalnya, pemberi modal menentukan barang dagangan, lokasi bisnis dan suppliernya.
   Jika suatu akad mudharabah telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka mempunyai akibat sebagai berikut :
  1. Modal ditangan pekerja berstatus amanah, dan posisinya sama dengan posisi seorang wakil dalam jual beli. Pekerja berhak atas bagian keuntungan yang dihasilkan.
  2. Apabila akad ini berbentuk mudharabah muthlaqah, pekerja bebas mengelola modal selama profitable.
  3. Jika kerja sama itu menghasilkan keuntungan, maka pemilik modal mendapatkan keuntungan an modalnya, tetapi jika tidak menghasilkan keuntungan, pemilik modal tidak mendapatkan apa-apa.
 2. MUSAQOH

A.       Pengertian dan Dasar Hukum

Secara sederhana musaqoh diartikan dengan kerja sama dalam perawatan tanaman dengan imbalan dari hasil yang diperoleh dari tanaman tersebut.
Yang dimaksud dengan “tanaman” dalam akad ini adalah tanaman tua atau tanaman keras yang berbuah untuk mengharapkan buahnya seperti kelapa dan sawit, atau yang bergetah untuk mengharapkan getahnya, bukan tanaman tua untuk mengharapkan kayunya.
Dasar hukum bolehnya adalah hadist nabi yang mempekerjakan penduduk khaibar yang disebutkan di atas, yang kerjasama pertanian tersebut juga mencakup merawat tanaman. Sedangkan bagian ulama memandangnya sebagai muamalah upah mengupah, berpendapat tidak boleh karena upah tidak boleh dari hasil kerja tapi dalam bentuk nilai uang yang sudah pasti sesuai dengan perjanjian.

B.           Rukun dan syarat musaqoh

Ulama hanafiah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad al-musaqoh adalah ijab dari pemilik tanah perkebunan dan qobul dari petani penggarap, dan pekerjaan dari pihak petani penggarap.
Sedangkan jumhur ulama yang terdiri atas ulama malikiyah, syafi’iyah, dan hanabilah berpendirian bahwa transaksi al-musaqah harus memenuhi lima rukun, yaitu :
  1. Dua orang/pihak yang melakukan transaksi
  2. Tanah yang dijadikan obyek al-musaqah
  3. Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap
  4. Ketentuan mengenai pembagian hasil al-musaqah
  5. Shigat (ungkapan) ijab dan qabul
Adapun syarat-syarat yang harus di penuhi oleh masing-masing rukun adalah :
  1. Kedua belah pihak yang melakukan transaksi al-musaqah harus orang yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil baligh) dan berakal.
  2. Obyek al-musaqah itu harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai buah. Dalam menentukan obyek al-musaqah ini terdapat perbedaan pendapat ulama fikih. Menurut ulama hanafiyah yang boleh menjadi obyek al-musaqah adalahpepohonan yang berbuah (boleh berbuah), seperti kurma, anggur dan terong. Namun menurut ulama Hanafiyah muta’akhirin menyatakan al-musaqah juga berlaku pada pepohonan yang tidak mempunyai buah, jika hal itu dibutuhkan masyarakat. Ulama Malikiyah menyatakan objek al-musaqah adalah tanaman keras dan palawija, seperti kurma, terong, apel, dan anggur; dengan syarat bahwa: (a) akad al-musaqah itu dilakukan sebelum buah layak panen, (b) tenggang waktu yang ditenyukan jelas, (c) akadnya dilakukan setelah tanaman itu tumbuh, (d) pemilik perkebunan tidak mampu untuk mengolah dan memelihara tanaman itu. Menurut ulama Hanabilah, objek al-musaqah adalah pada tanaman yang buahnya boleh dikonsumsi. Sedangkan ulama Syafi’iyah mengatakan yang boleh menjadi objek al-musaqah adalah hanya kurma dan anggur saja, seperti yang dikatakan oleh sabda Rasulullah saw, yang mengatakan: ”Rasulullah menyerahkan perkebunan kurma di Khaibar kepada orang Yahudi dengan ketenyuan sebagian dari hasilnya, baik dari buah-buahan ataupun biji-bijianmenjadi milik orang Yahudi itu.
  3. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung untuk digarap, tanpa campur tangan pemilik tanah.
  4. Hasil yang dihasilkan oleh kebun itu adalah hak mereka bersama sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Menurut pendapat al-Syafi’i yang terkuat sah melakukan perjajian musaqah pada kebun yang telah berbuah, tapi buahnya belum dapat dipastikan baik (belum matang).
  5. Lamanya perjanjian harus jelas, karena transaksi ini hampir sama dengan transaksi sewa menyewa, agar terhindar dari ketidakpastian. Namun menurut Hanafiyah, penetapan jangka waktu bukanlah suatu keharusan dalam musaqah tetapi dipahami sebagai satu cara terbaik. Sejalan dengan ulama Hanafiyah, Daud az-Zahiri berpendapat bahwa penetapan waktu bukan suatu syarat dan hal itu diserahkan kepada kebiasaan setempat.
C.                Hukum-hukum yang Terkait Dengan al-Musaqah

      Hukum-hukum yang berkaitan dengan akad al-musaqah yang sahih adalah:
  1. Seluruh pekerjaan yang berkaitan dengan pemeliharaan tanaman, pengairan kebun, dann segala yang dibutuhkan untuk kebaikan tanaman itu, merupakan tanggung jawab petani penggarap.
  2. Seluruh hasil panen dari tanaman itu menjadi milik kedua belah pihak (petani dan pemilik).
  3. Jika kebun itu tidak menghasilkan apa-apa, maka masing-masing pihak tidak mendapatkan apa-apa.
  4. Akad al-musaqah yang telah disepakati mengikat kedua belah pihak, sehingga masing-masing pihak tidak boleh membatalkan akad itu, kecuali ada halangan yang membuat tidak mungkin untuk melanjutkan akad yang telah disetujui itu.
  5. Petani penggarap tidak boleh melakukan akad al musaqah lain dengan pihak ketiga, kecuali atas izin dari pemilik perkebuan pertama.
Akad al-musaqah bisa fasid apabila:
  1. Seluruh hasil panen disyaratkan menjadi pemilik salah satu pihak yang berakad, sehingga makna serikat tidak ada dalam akad itu.
  2. Mensyaratkan jumlah tertentu dari hasil panen salah satu pihak, misalnya seperti seperdua dan sebagainya, atau bagian petani dalam bentuk uang, sehingga makna al-musaqah sebagai serikat dalam panen tidak ada lagi.
  3. Disyaratkan pemilik kebun juga ikut bekerja dikebun itu.
  4. Disyaratkan bahwa mencangkul tanah menjadi kewajiban petani penggarap karena dalam akad al-musaqah pekerjaan sejenis ini bukan pekerjaan petani, karena perserikatan dilakukan hanyalah untuk memelihara dan mengairi tanaman, bukan memulai tanam.
  5. Mensyaratkan seluruh pekerjaan yang bukan merupakan kewajiban petani dan pemilik.
  6. Melakukan kesepakatan terhadap tenggang waktu.
Jika akad al-musaqah fasid maka akibat hukumnya adalah:
  1. Petani penggarap tidak boleh dipaksa bekerja dikebun itu
  2. Hasil panen seluruhnya menjadi milik pemilik kebun, sedangkan petani penggarap tidak menerima apapun dari hasil kebun itu, tapi ia hanya berhak mendapatkan upah yang wajar yang berlaku di daerah itu.
D.          Berakhirnya Akad al-Musaqah

Menurut ulama fiqh, akad al-musaqah berakhir apabila:
a.       Tenggang waktu yang disepakati dalam akad habis,
b.      Salah satu pihak meninggal dunia,
c.       Ada uzur yang membuat salah satu pihak tidak dapat meneruskan akad.
Uzur yang dimaksud dalam hal ini diantaranya apabila petani penggarap itu terkenal sebagai seorang pencuri hasil tanaman dan petani penggarap sakit yang tidak memungkinkan dia untuk bekerja. Jika petani itu yang wafat maka akli warisnya boleh melanjutkan akad itu jika tanaman itu belum panen. Sedangkan apabila pemilik perkebunan yang waafat maka pekerjaan petani harus dilanjutkan. Jika kedua belah pihak yang berakad meninggal dunia, maka ahli waris kedua belah pihak boleh memilih antara meneruskan akad atau menghentikannya.
   Akan tetapi ulama Malikiyah menyatakan bahwa akad al-musaqah adalah akad yang boleh diawarisi, jika salah satu pihak meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena uzur dari pihak petani. Ulama Syafi’iyah juga mengatakan bahwa akad al-musaqah tidak boleh dibatalkan karena uzur. Apabila petani memounyai uzur maka harus ditunjuk seseorang yang bertanggung jawab untuk melakukan pekerjaan itu. Menurut ulama Hanabilah, akad al-musaqah adalah akad yang tidak mengikat kedua belah pihak. Oleh sebab itu salah satu pihak boleh membatalkan akad tersebut. Jika pembatalan akad dilaksanakan setelah pohon berbuah, maka buah itu dibagi dua antara pemilik dan penggarap, sesuai dengan kesepakatan yang ada.

3. MUSYARAKAH ( Syirkah )

A.     Pengertian Syirkah

Secara etimologi, asy-syirkah berarti percampuran, yaitu percampuran antara sesuatu dengan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan . Asy-syirkah termasuk salah satu bentuk kerja sama dagang dengan rukun dan syarat tertentu, yang dalam hukum positif disebut dengan perserikatan dagang.
Secara terminologi, ada beberapa definisi asy-syirkah yang dikemukakan oleh para ulama fiqh.
Pertama dikemukakan oleh ulama Malikiyah. Menurut mereka, asy-syirkah adalah :
إ ذ ن فى الصرف لهما مع أ نفسهما فى مال لهما
Suatu keizinan untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka.
Kedua, definisi yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. Menurut mereka, asy-syirkah adalah :
ثبو ت الحق فى شيئ لإ ثنين فأ كثر على جهة الشيوع
Hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.
Pada dasarnya definisi – definisi yang dikemukakan para ulama fiqh di atas hanya berbeda secara redaksioanl, sedangkan esensi yang terkandung di dalamnya adalah sama, yaitu ikatan kerja sama yang dilakukan dua orang atau lebih dalam perdagangan. Dengan adanya akad asy-syirkah yang disepakati kedua belah pihak, semua pihak yang mengikatkan diri berhak bertindak hukum terhadap harta serikat itu, dan berhak mendapatkan keuntungan sesuai dengan persetujuan yang disepakati.

B.         Dasar hukum asy-syirkah

Akad asy-syirkah dibolehkan, menurut para ulama fiqh, berdasarkan kepada firman Allah dalam surat an-Nisa’, 4: 12 yang berbunyi :
...فهم شر كا ء فى الثلث...
...maka mereka berserikat dalam sepertiga harta...
Ayat ini menurut mereka berbicara tentang perserikatan harta dalam pembagian warisan. Dalam ayat lain Allah berfirman :
و إن كثيرا من الخلطاء ليبغى بعضهم على بعض إلا اﻟﺫ ين امنوا وعملوا لصا لحا ت وقليل ما هم...
 ...sesungguhnya kebanyakan dari orang – orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang – orang beriman dan mengerjakan amal – amal saleh; dan amat sedikit mereka ini...
Atas dasar ayat dan hadis di atas para ulama fiqh menyatakan bahwa akad asy-syirkah mempunyai landasan yang kuat dalam agama Islam.

C.     Macam – macam asy-Syirkah

Para ulam fiqh membagi asy-syirkah ke dalam dua bentuk, yaitu; 1) syirkah al-Amlak ( perserikatan dalam pemilikan ). (2) Syirkah al-‘Uquq ( perserikatan berdasarkan suatu akad ).
1.      Syirkah al-Amlak
Syirkah dalam bentuk ini, menurut ulama fiqh, adalah dua orang atau lebih memiliki harta bersama tanpa melalui atau didahului oleh akad asy-syirkah. Asy-syirkah dalam kategori ini, selanjutnya mereka bagi pula menjadi dua bentuk, yaitu:
a.    Syirkah ikhtiar ( perserikatan dilandasi pilihan orang yang berserikat ), yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hokum orang yang berserikat, seperti dua orang sepakat membeli sebuah barang, atau mereka menerima harta hibah, wasiat, atau wakaf dari orang lain, lalu kedua orang itu menerima pemberian hibah, hibah, wasiat, awakaf itu dan menjadi milik mereka secara berserikat. Dalam kasus seperti ini, harta yang dibeli bersama atau yang dihibahkan, diwakafkan, atau yang diwariskan orang itu menjadi harta serikat bagi mereka berdua.
b.     Syirkah jabar ( perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat ), yaitu sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebih, tanpa kehendak dari mereka, seperti harta warisan yang mereka terima dari seorang yang wafat. Harta itu menjadi milik bersama orang – orang yang menerima warisan itu.
    Dalam kedua bentuk syirkah al-Amlak, menurut para pakar fiqh, status harta masing-masing orang yang berserikat, sesuai dengan hak masing-masing, bersifat berdiri sendiri secar hukum. Apabila masing-masing ingin bertindak hukum terhadap harta serikat itu, harus ada izin dari mitranya, karena seseorang tidak memiliki kekuasaan atas bagian harta orang yang menjadi mitra serikatnya. Hukum yang terkait dengan syirkah al-amlak ini dibahas oleh para ulama fiqh secara luas dalam bab wasiat, waris, hibah dan wakaf.
2.      Syirkah al-Uquq
Syirkah dalam bentuk ini maksudnya adalah akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungannya. Terdapat perbedaan pendapat para ulam fiqh tentang bentuk-bentuk serikat yang termasuk ke dalam syirkah al-‘uquq.
Ulama Hanabilah membaginya ke dalam lima bentuk, yaitu :
a.       Syirkah al-‘inan ( penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak selalu sama jumlahnya ).
b.   Syirkah al-mufawadhah ( perserikatan yang modal semua pihak dan bentuk kerjasama yang mereka lakukan baik kualitas dan kuantitasnya harus sama dan keuntungannya dibagi rata ).
c.     Syirkah al-abdan ( perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama ).
d.    Syirkah al-wujuh ( perserikatan tanpa modal ).
e.     Syirkah al-mudharabah ( bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan seorang yang punya kepakaran dagang, dan keuntungannya dibagi bersama)
Ulama Malikiyah dan dan Syafi’iyah membaginya ke dalam empat bentuk :
a.       Syirkah al-‘inan.
b.      Syirkah al-mufawadhah.
c.       Syirkah al-abdan.
d.      Syirkah al-wujuh.
Ulama Hanafiyah membagi syirkah ke dalam tiga bentuk yaitu :
a.       Syirkah al-anwal ( perserikatan dalam modal/harta ).
b.      Syirkah al-a’mal ( perserikatan dalam kerja ).
c.       Syirkah al-wujuh ( perserikatan tanpa modal ).

D.          Syarat – syarat asy-syirkah

Perserikatan ke dalam dua bentuknya di atas, yaitu syirkah al-amlak dan syirkah al-‘uquq mempunyai syarat – syarat umum, yaitu:
a.       Perserikatan itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan. Artinya, salah  satu pihak jika bertindak hukum terhadap obyek perserikatan itu, dengan izin pihak lain. Dianggap sebagai wakil seluruh pihak yang berserikat.
b.      Persentase pembagian keuntungan untuk masing – masing pihak yang berserikat dijelaskan ketika berlangsungnya akad.
c.       Keuntungan itu diambilkan dari hasil laba harta perserikatan, bukan dari harta lain.

    E.       Rukun – rukun Musyarakah
a.       Para pihak yang bersyirkah.
b.      Porsi kerjasama.
c.       Proyek/usaha ( masyru’ ).
d.      Ijab qabul ( sighat ).
e.       Nisbah bagi hasil.
Pada bidang perbankan misalnya, penerapan musyarakah dapat berwujud hal-hal berikut ini.
1.      Pembiayaan proyek. Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati
2.    Modal ventura. Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.


 4.MUZARA’AH atau MUKHABARAH

A.  Pengertian

Secara etimologi, al-muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Sedangkan dalam terminology fiqh terdapat beberapa definisi al-muzara’ah yang dikemukakan ulama fiqh.
Ulama Malikiyah mendefinisikan dengan:
الشر كة فى الزرع
Perserikatan dalam pertanian.
Menurut ulama Hanabilah mendefinisikan dengan:
د فع الأرض إلى من يزر عها أو يعمل عليها واﻠﺯرع بينهما
Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua.
Kedua definisi ini dalam Indonesia disebut sebagai “paroan sawah”  Penduduk Irak menyebutnya “al-Mukhabarah”, tetapi dalam al-mukhabarah, bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah.
Imam asy-Syafi’iyah mendefinisikan al-mukhabarah dengan:
عمل الأرض ببعض ما يخرج منها واﻟﺒﻨ ر من العا مل
Pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah.
Dalam al-mukhabarah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedang dalam al-muzara’ah bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.

B.           Hukum Akad al-muzara’ah

Dalam membahas hukum al-muzara’ah terjadi perbedaan pendapat para ulama. Imam Abu Hanifah ( 80-150 H/699-767 M ) dan Zufar ibn Huzail ( 728-774 M ), pakar fiqh Hanafi, berpendapat bahwa akad al-muzara’ah tidak boleh. Menurut mereka, akad al-muzara’ah dengan bagi hasil, seperti seperempat dan setengah, hukumnya batal.
Alasan Imam Abu Hanifah dan Zufair ibn Huzail adalah sebuah hadis berikut:
أن رسو ل الله عليه وسلم نهى عن المهخا برة.
﴿رواه مسلم عن جا بر بن عبد الله
Rasulallah saw yang melarang melakukan al-mukhabarah. ( HR Muslim dari Jabir ibn Abdillah ).
Al-Mukhabarah dalam sabda Rasulallah itu adalah al-muzara’ah, sekalipun dalam al-mukhabarah bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah.
Dalam riwayat Sabit ibn adh-Dhahhak dikatakan:
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن المزرعة.
﴿رواه مسلم عن ثا بت بن الضحا ك﴾
Rasulallah melarang al-muzara’ah ( HR Muslim ).

C.             Rukun al-Muzara’ah

Jumhur ulama, yang membolehkan akad al-muzara’ah, mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah. Rukun al-muzara’ah menurut mereka adalah:
a.       Pemilik tanah.
b.      Petani penggarap.
c.       Obyek al-muzara’ah.
d.      Ijab dan qabul.

D.             Syarat-syarat al-Muzara’ah

Adapun syarat-syarat al-muzara’ah, menurut jumhur ulama, ada yang menyangkut orang yang berakad, benih yang akan ditanam, tanah yang dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan yang menyangkut jangka waktu berlakunya akad.
Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu—benih yang ditanam itu jelas dan akan menghasilkan. Sedangkan syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah:
a.       Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan. Jika tanah itu adalah tanah yang tandus dan kering, sehingga tidak dimungkinkan untuk dijadikan tanah pertanian, maka akad al-muzara’ah tidak sah.
b.      Batas-batas tanah itu jelas.
c.       Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu, maka akad al-muzara’ah tidak sah.
Syarat-syarat yang menyangkut hasil panen adalah sebagai berikut:
a.       Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihaki harus jelas.
b.      Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada pengkhususan.
c.       Pembagian hasil panen itu ditentukan setengah, sepertiga, atau seperempat sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan dikemudian hari, dan penentuanya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu kuintal untuk pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh dibawah jumlah itu atau dapat juga jauh melampaui kumlah itu.

E.           Akibat akad al-Muzara’ah

Menurut jumhur ulama yang membolehkan akad al-muzara’ah, apabila akad ini telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka akibat hukumnya adalah sebagai berikut:
a.       Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan biaya pemeliharaan pertanian itu.
b.      Biaya pertanian seperti pupuk, biaya penuaian, serta biaya pembersihan tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik tanh sesuai dengan prosentase bagian masing-masing.
c.       Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.


5. UPAH DALAM ISLAM

A.          Definisi upah dalam Islam

Upah disebut juga dengan ijarah dalam Islam. Ijaroh menurut ulama’ hanafiyah adalah transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan sedangkan menurut ulama’ hanafiyah yaitu transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu,bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.[1] Upah adalah bentuk kompensasi atas jasa yang telah diberikan oleh tenaga kerja. Sedangkan mengupah adalah memberi ganti atas pengambilan manfaat tenaga dan orang lain menurut syarat-syarat tertentu. Untuk mengetahui definisi upah versi Islam secara menyeluruh, telah disebutkan dalam Surat At Taubah : 105 dan An Nahl : 97.
Q.S. At Taubah : 105,yang artinya :
“Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberikanNya kepada kamu apa yang telah kamukerjakan”
Q.S.An Nahl : 9
, yang artinya :
 “Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Quraish Shihab dalam bukunya yaitu Tafsir Al Misbah menjelaskan At Taubah:105 ini sbb:  “bekerjalah kamu demi karena Allah semata dengan aneka amal yang shaleh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan melihat yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu”. Ganjaran yang dimaksud dala ayat ini adalah upah atau kompensasi. Demikian juga dengan An Nahl:97, maksud dari kata balasan dalam ayat tersebut adalah upah atau kompensasi. Jadi dalam Islam, jika seseorang mengerjakan pekerjaan dengan niat karena Allah (amal shaleh) maka ia akan mendapatkan balasan baik didunia (berupa upah) maupun diakhirat (berupa pahala), yang berlipat ganda. Dari dua ayat diatas dapat kita simpulkan bahwa upah dalam konsep Islam memiliki dua aspek, yaitu dunia dan akhirat.
Misal, untuk tata cara pembayaran upah, Rasulullah SAW bersabda: “Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah SAW bersabda:Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya” (HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani). Sehingga dari ayat-ayat  Al-Qur’an di atas, dan dari hadits-hadits di atas, maka dapat didefenisikan bahwa : Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik).

B.  Prnsip pembayaran upah dalam islam

Pengupahan atau pemberian upah adalah salah satu masalah yang tidak pernah selesai diperdebatkan oleh pihak top manajemen manapun, apapun bentuk organisasinya baik itu swasta maupun pemerintah. Paradigma saat ini, pemberian upah di negara kita disadari atau tidak lebih condong untuk berkiblat ke barat, dimana dalam studi kasusnya upah kepada pekerja tidak tetap, atau tenaga buruh seperti upah buruh lepas di areal perkebunan, dan upah pekerja buruh bangunan misalnya. Mereka biasanya dibayar mingguan atau bahkan harian. Itu untuk buruh, sedangkan gaji menurut pengertian keilmuan barat terkait dengan imbalan uang yang diterima oleh setiap karyawan atau pekerja tetap yang dibayarkan sebulan sekali. Sehingga dalam pandangan dan pengertian barat, Perbedaan gaji dan upah itu hanya terletak pada Jenis karyawannya yang berkategori karyawan tetap atau tidak tetap dengan sistem pembayarannya secara bulanan, harian atau per periode tertentu.
 Dalam hal perbedaan pengertian upah dan gaji menurut konsep Barat seperti yang dijabarkan di atas, dalam Islam disebutkan secara lebih komprehensif tentang upah dan gaji. Allah menegaskan tentang imbalan dalam Qur’an sbb :
“Dan katakanlah : "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan." (At Taubah : 105).

Dalam surat At Taubah 105 menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kita untuk bekerja, dan Allah pasti membalas semua apa yang telah kita kerjakan. Yang paling penting dalam ayat ini adalah penegasan Allah bahwasanya motivasi atau niat bekerja itu haruslah benar dan apabila motivasi bekerja tidak benar, maka Allah akan membalas dengan cara memberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan balasan yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan.
 Konsep keadilan dalam upah inilah yang sangat mendominasi dalam setiap praktek yang pernah terjadi di kekhalifahan Islam. Secara lebih rinci kalau kita lihat hadits Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :
Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya)." (HR. Muslim).
Dari hadits ini dapat didefenisikan bahwa upah yang sifatnya materi (upah di dunia) mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang. Perkataan : “harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri)", bermakna bahwa upah yang diterima harus menjamin makan dan pakaian karyawan yang menerima upah. Selain itu, Hadits ini menegaskan bahwa kebutuhan papan (tempat tinggal) merupakan kebutuhan yang bersifat hak bagi para karyawan. Bahkan menjadi tanggung jawab majikan juga untuk mencarikan jodoh bagi karyawannya yang masih lajang (sendiri). Hal ini ditegaskan pula oleh Doktor Abdul Wahab Abdul Aziz As-Syaisyani dalam kitabnya Huququl Insan Wa Hurriyyatul Asasiyah Fin Nidzomil Islami Wa Nudzumil Ma’siroti bahwa mencarikan istri juga merupakan kewajiban majikan, karena istri adalah kebutuhan pokok bagi para karyawan.
Sangat terlihat dengan jelas dari uraian diatas, sedikitnya terdapat dua perbedaan konsep Upah antara Barat dan Islam:
1.      Islam memandang upah sangat besar kaitannya dengan konsep moral, sementara Barat hanya berlandaskan kebutuhan perusahaan saja.
2.      Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan atau keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan yang berdimensi pada akherat (pahala), sementara Barat tidak sama sekali.
 Adapun hanya ada sedikit yang bisa disinergikan antara persamaan kedua konsep upah menurut kaca mata Barat dan Islam, yang pertama adalah, prinsip keadilan, dan kedua, prinsip kelayakan (kecukupan). Mari kita lihat kedua prinsip ini dari kaca mata Islam, yaitu :
2.      Prinsip adil
 Nabi bersabda :
“Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan". (HR. Baihaqi).
 hadits riwayat Baihaqi di atas, dapat diketahui bahwa prinsip utama keadilan terletak pada kejelasan aqad (transaksi) dan komitmen atas dasar kerelaan melakukannya (dari yang ber-aqad). Aqad dalam perburuhan adalah aqad yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha. Artinya, sebelum pekerja dipekerjakan, harus jelas dahulu bagaimana upah yang akan diterima oleh pekerja. Upah tersebut meliputi besarnya upah dan tata cara pembayaran upah.
 Khusus untuk cara pembayaran upah, Rasulullah bersabda :
“Dari Abdillah bin Umar, Rasulullah Saw. Bersabda: “Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya“. (HR.Ibnu Majah dan Imam Thabrani).
 Dalam menjelaskan hadits itu, Syeikh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, menjelaskan sebagai berikut : Sesungguhnya seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan pekerjaannya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan, karena umat Islam terikat dengan syarat-syarat antar mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Namun, jika ia membolos bekerja tanpa alasan yang benar atau sengaja menunaikannya dengan tidak semestinya, maka sepatutnya hal itu diperhitungkan atasnya (dipotong upahnya) karena setiap hak dibarengi dengan kewajiban. Selama ia mendapatkan upah secara penuh, maka kewajibannya juga harus dipenuhi. Sepatutnya hal ini dijelaskan secara detail dalam “peraturan kerja" yang menjelaskan masing-masing hak dan kewajiban kedua belah pihak. Bahkan Syeikh Qardhawi mengatakan bahwa bekerja yang baik merupakan kewajiban karyawan atas hak upah yang diperolehnya, demikian juga memberi upah merupakan kewajiban perusahaan atas hak hasil kerja karyawan yang diperolehnya. Dalam keadaan masa kini, maka aturan-aturan bekerja yang baik itu, biasanya dituangkan dalam buku Pedoman Kepegawaian yang ada di masing-masing perusahaan.
 Hadits lain yang menjelaskan tentang pembayaran upah ini adalah :
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad Saw. bahwa beliau bersabda: “Allah telah berfirman: “Ada tiga jenis manusia dimana Aku adalah musuh mereka nanti di hari kiamat. Pertama, adalah orang yang membuat komitmen akan memberi atas nama-Ku (bersumpah dengan nama-Ku), kemudian ia tidak memenuhinya. Kedua, orang yang menjual seorang manusia bebas (bukan budak), lalu memakan uangnya. Ketiga, adalah orang yang menyewa seorang upahan dan mempekerjakan dengan penuh, tetapi tidak membayar upahnya" (HR. Bukhari).
Hadits diatas menegaskan tentang waktu pembayaran upah, agar sangat diperhatikan. Keterlambatan pembayaran upah, dikategorikan sebagai perbuatan zalim dan orang yang tidak membayar upah para pekerjanya termasuk orang yang dimusuhi oleh Nabi saw pada hari kiamat. Dalam hal ini, Islam sangat menghargai waktu dan sangat menghargai tenaga seorang karyawan (buruh).

3.      Kelayakan (Kecukupan)
Jika Adil berbicara tentang kejelasan, transparansi serta proporsionalitas ditinjau dari berat pekerjaannya, maka Layak berhubungan dengan besaran yang diterima layak disini bermakna cukup dari segi pangan, sandang dan papan.
 Dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya)." (HR. Muslim).
Dapat dijabarkan bahwa hubungan antara majikan dengan pekerja bukan hanya sebatas hubungan pekerjaan formal, tetapi karyawan sudah dianggap merupakan keluarga majikan. Konsep menganggap karyawan sebagai keluarga majikan merupakan konsep Islam yang lebih dari 14 abad yang lalu telah dsabdakan oleh Nabi Muhammad SAW. Konsep ini dipakai oleh pengusaha-pengusaha Arab pada masa lalu, dimana mereka (pengusaha muslim) seringkali memperhatikan kehidupan karyawannya di luar lingkungan kerjanya. Hal inilah yang sangat jarang dilakukan saat ini.
 Wilson menulis dalam bukunya yang berjudul Islamic Business Theory and Practice yang kurang lebih maksudnya adalah “Walaupun perusahaan itu bukanlah perusahaan keluarga, para majikan Muslimin acapkali memperhatikan kehidupan karyawan di luar lingkungan kerjanya, hal ini sulit untuk dipahami oleh para pengusaha Barat".
konsep Islam jauh sangat berbeda dengan konsep upah menurut Barat. Upah menurut Islam sangat besar kaitannya dengan konsep Moral, Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan atau keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat (pahala). Jadi mulai dari sekarang, marilah kita terapkan prinsip Islam kembali.

6.WAKAF

A.  Pengertian Wakaf

Menurut  bahasa  wakaf  berasal  dari  waqf  yang  berarti  radiah  (terkembalikan),  al-tahbis  (tertawan)  dan  al-man’u  (mencegah).
Sedangkan  menurut  istialah  yang  dimaksud  dengan  wakaf  sebagaimana  yang  didefinisikan  oleh  para  ulama  adalah  sebagai  berikut:
1.  Muhammad  al  Syarbini  al  Khatib  berpendapat  bahwa  yang  dimaksud
     dengan wakaf  ialah   “Penahanan  harta  yang  memungkinkan  untuk
     dimanfaatkan disertai  dengan  kekalnya  zat  benda  dengan  memutuskan
     (memotong) tasharruf  (penggolongan)  dalam  penjagaannya  atas  Mushrif
     (pengelola)  yang  dibolehkan  adanya.”
  1. Imam  Taqiy  al  Din  Abi  Bakr  bin  Muhammad  al  Husaini  dalam  kitab  Kifayat  al  Akhyar  berpendapat  bahwa  yang  dimaksud  dengan  wakaf  adalah  “Penahanan  harta  yang  memungkinkan  untuk  dimanfaatkan  dengan  kekalnya  benda  (zatnya),  dilarang  untuk  digolongkan  zatnya  dan  dikelola  manfaatnya  dalam  kebaikan  untuk  mendekatkan  diri  pada  Allah  SWT.”
  2. Ahmad  Azhar  Basyir  berpendapat  bahwa  yang  dimaksud  dengan  wakaf  ialah,  menahan  harta  yang  mungkin  dapat  diambil  orang  manfaatnya  tidak  musnah  seketika,  dan  untuk  penggunaan  yang  dibolehkan,  serta  dimaksudkan  untuk  mendapat  ridha  Allah.
  3. Idris  Ahmad  berpendapat  bahwa  yang  dimaksud  dengan  wakaf  ialah,  menahan  harta  yang  mungkin  dapat  diambil  orang  manfaatnya, kekalnya  zatnya  dan  menyerahkannya  ke  tempat-tempat  yang  telah  ditentukan  syara’,  serta  dilarang  leluasa  pada  benda-benda  yang  dimanfaatkannya  itu.
B.           Dasar Hukum Wakaf

Adapun  yang  dinyatakan  sebagai  dasar  hukum  wakaf  oleh  para  ulama,  Al  Quran  surat  Al  Hajj:  77
Berbuatlah  kamu  akan  kebaikan  agar  kamu  dapat  kemenangan.
Dalam  ayat  lain  yaitu  surat  Ali  Imron:  92,  Allah  berfirman:
Akan  mencapai  kebaikan  bila  kamu  menyedekahkan  apa  yang  masih  kamu  cintai.
Dalam  salah  satu  hadits  yang  diriwayatkan  oleh  Imam  jama’ah  kecuali  Bukhari  dan  Ibnu  Majah  dari  Abu  Hurairah  ra  sesungguhnya  Nabi  saw  bersabda:
Apabila  mati  seorang   manusia,  maka  terputuslah  pahala  perbuatannya,  kecuali  tiga  perkara:  shodaqoh  jariyah  (wakaf),  ilmu  yang  dimanfaatkan,  baik  dengan  cara  mengajar  maupun  dengan  karangan  dan  anak  yang  sholeh  yang  mendoakan  orang  tuanya.

C.             Ketentuan-Ketentuan Wakaf

Menurut  Ahmad  Azhar  Basyir  berdasarkan  hadits  yang  berisi  tentang  wakaf  Umar  ra  maka  diperoleh  ketentuan-ketentuan  sbb:
1.     Harta  wakaf  harus  tetap  (tidak  dapat  dipindahkan  kepada  orang  lain),  baik  dijualbelikan,  dihibahkan,  maupun  diwariskan.
2.     Harta  wakaf  terlepas  dari  pemilikan  orang  yang  mewakafkannya.
3.    Tujuan  wakaf  harus  jelas  (terang)  dan  termasuk  perbuatan  baik  menurut  ajaran  agama  Islam.
4.     Harta  wakaf  dapat  dikuasakan  kepada  pengawas  yang  memiliki  hak  ikut  serta  dalam  harta  wakaf  sekadar  perlu  dan  tidak  berlebihan.
5.      Harta  wakaf  dapat  berupa  tanah  dan  sebagainya,  yang  tahan  lama  dan  tidak  musnah  sekali  digunakan.

D.    Rukun dan Syarat Wakaf

Syarat-syarat  wakaf:
1.      Wakaf  tidak  dibatasi  dengan  waktu  tertentu  sebab  perbuatan  wakaf  berlaku  untuk  selamanya,  tidak  untuk  waktu  tertentu.  Bila  seseorang  mewakafkan  kebun  untuk  jangka  waktu  10  tahun  misalnya,  maka  wakaf  tersebut  dipandang  batal.
2.      Tujuan  wakaf  harus  jelas,  seperti  mewakafkan  sebidang  tanah  untuk  masjid  dsb.  Apabila  seseorang  mewakafkan  sesuatu  kepada  hukum  tanpa  menyebut  tujuannya,  hal  itu  dipandang  sah  sebab  penggunaan  benda-benda  wakaf  tersebut  menjadi  wewenang  lembaga  hukum  yang  menerima  harta-harta  wakaf  tersebut.
3.      Wakaf  harus  segera  dilaksanakan  setelah  dinyatakan  oleh  yang  mewakafkan,  tanpa  digantungkan  pada  peristiwa  yang  akan  terjadi  di  masa  yang  akan  datang  sebab  pernyataan  wakaf  berakibat  lepasnya  hak  milik  bagi  yang  mewakafkan.  Bila  wakaf  digantungkan  dengan  kematian  yang  mewakafkan,  ini  bertalian  dengan  wasiat  dan  tidak  bertalian  dengan  wakaf.  Dalam  pelaksanaan  seperti  ini,  berlakulah  ketentuan-ketentuan  yang  bertalian  dengan  wasiat.
4.      Wakaf  merupakan  perkara  yang  wajib  dilaksanakan  tanpa  adanya  hak  khiyar  (membatalkan  atau  melangsungkan  wakaf  yang  telah  dinyatakan)  sebab  pernyataan  wakaf  berlaku  seketika  dan  untuk  selamanya.
Rukun-rukun  wakaf  ialah:
1.      Orang  yang  berwakaf  (wakif)
Wakif  mempunyai  kecakapan  melakukan  tabarru,  yaitu  melepaskan  hak  milik  tanpa  imbalan  materi.  Orang  dikatakan  cakap  bertindak  tabarru  adalah  baligh,  berakal  sehat,  dan  tidak  terpaksa.
2.      Harta  yang  diwakafkan  (mauquf)
Harta  wakaf  merupakan  harta  yang  bernilai,  milik  waqif  dan  tahan  lama  untuk  digunakan.  Harta  wakaf  dapat  berupa  uang  yang  dimodalkan,  berupa  saham  pada  perusahaan  dsb.    Untuk  harta  yang  berupa  modal  harus  dikelola  sedemikian  rupa  (semaksimal  mungkin)  sehingga  mendatangkan  kemaslahatan  atau  keuntungan.
3.      Tujuan  wakaf  (mauquf’alaih)
Tujuan  wakaf  harus  sejalan  dengan  nilai-nilai  ibadah,  sebab  wakaf  merupakan  salah  satu  amalan  shadaqah  dan  shadaqah  merupakan  salah  satu  perbuatan  ibadah.  Harta  wakaf  harus  segera  dapat  diterima  setelah  wakaf  diikrarkan.  Bila  wakaf  diperuntukkan  membangun  tempat-tempat  ibadah  umum,  hendaklah  ada  badan  yang  menerimanya.
4.      Pernyataan  wakaf  (shigat  waqf)
Wakaf  itu  di-shigat-kan,  baik  dengan  lisan,  tulisan,  maupun  dengan  isyarat.  Wakaf  dipandang  telah  terjadi  apabila  ada  pernyataan  wakif  (ijab)  dan  Kabul  dari  mauquf’alaih  tidak  diperlukan.  Isyarat  hanya  boleh  dilakukan  bagi  wakif  yang  tidak  mampu  melakukan  lisan  dan  tulisan.

E.   Macam-macam Wakaf

Menurut  para  ulama  secara  umum  wakaf  dibagi  menjadi  dua  bagian:
1.      Wakaf  ahli  (khusus)
Wakaf  ahli  disebut  juga  wakaf  keluarga  atau  wakaf  khusus.  Maksud  wakaf  ahli  ialah  wakaf  yang  ditujukan  kepada  orang-orang  tertentu,  seorang  atau  terbilang,  baik  keluarga  wakif  maupun  orang  lain.  Misalnya,  seseorang  mewakafkan  buku-buku  yang  ada  di  perpustakaan  pribadinya  untuk  turunannya  yang  mampu  menggunakan.  Wakaf  semacam  ini  dipandang  sah  dan  yang  berhak  menikmati  harta  wakaf  itu  adalah  orang-orang  yang  ditunjuk  dalam  pernyataan  wakaf.
2.      Wakaf  khairi
Wakaf  khairi  ialah  wakaf  yang  sejak  semula  ditujukan  untuk  kepentingan-kepentingan  umum  dan  tidak  ditujukan  kepada  orang-orang  tertentu.  Wakaf  khairi  inilah  yang  benar-benar  sejalan  dengan  amalan  wakaf  yang  amat  digembirakan  dalam  ajaran  Islam,  yang  dinyatakan  pahalanya  akan  terus  mengalir  hingga  wakif  meninggal  dunia,  selama  harta  masih  dapat  diambil  manfaatnya.

E.           Syarat-syarat Wakif

Dalam  wakaf  terkadang  wakif  mensyaratkan  sesuatu,  baik  satu  maupun  berbilang.  Wakif  dibolehkan  menentukan  syarat-syarat  penggunaan  harta  wakaf,  syarat-syarat  tersebut  harus  dihormati  selama  sejalan  dengan  ajaran  agama  Islam.  Misalnya,  seseorang  mewakafkan  tanah  untuk  mendirikan  pesantren  khusus  laki-laki,  syarat  seperti  itu  harus  dihormati  karena  sejalan  dengan  ketentuan-ketentuan  syara’.
Apabila  syarat-syarat  penggunaan  harta  wakaf  bertentangan  dengan  ajaran  Islam,  wakafnya  dipandang  sah,  tetapi  syaratnya  dipandang  batal.  Misalnya,  seseorang  yang  mewakafkan  tanah  untuk  masjid  jami’,  dengan  syarat  hanya  dipergunakan  oleh  para  anggota  perkumpulan  tertentu,  maka  wakafnya  dipandang  sah,  tetapi  syaratnya  tidak  perlu  diperhatikan.

F.              Menukar dan menjual harta wakaf

Berdasarkan  hadits  yang  diriwayatkan  oleh  Imam  Bukhari  dan  Muslim  dari  Ibnu  Umar  ra  yang  menceritakan  tentang  wakaf   bahwa  wakaf  tidak  boleh  dijual, diwariskan  dan  dihibahkan. 
Perbuatan  wakaf  dinilai  ibadah  yang  senantiasa  mengalir  pahalanya  apabila  harta  wakaf  itu  dapat  memenuhi  fungsinya  yang  dituju.  Dalam  hal  harta  wakaf  berkurang,  rusak,  atau  tidak  dapat  memenuhi  fungsinya  yang  dituju,  harus  dicarikan  jalan  keluar  agar  harta  itu  tidak  berkurang,  utuh  dan  berfungsi.  Bahkan  untuk  menjual  atau  menukar  pun  tidak  dilarang,  kemudian  ditukarkan  dengan  benda  lain  yang  dapat  memenuhi  tujuan  wakaf.
Ibnu  Qudamah  berpendapat  bahwa  apabila  harta  wakaf  mengalami  rusak  hingga  tidak  dapat  membawa  manfaat  sesuai  dengan  tujuannya,  hendaknya  dijual  saja,  kemudian  harga  penjualannya  dibelikan  benda-benda  lain  yang  akan  mendatangkan  manfaat  sesuai  dengan  tujuan  wakaf  dan  benda-benda  yang  dibeli  itu  berkedudukan  sebagai  harta  wakaf  seperti  semula.

G.             Pengawasan harta wakaf

Pada  dasarnya  pengawasan  harta  wakaf  merupakan  hak  wakif,  tetapi  wakif  boleh  menyerahkan  pengawasan  kepada  yang  lain,  baik  lembaga  maupun  perorangan.  Untuk  menjamin  kelancaran  masalah  perwakafan,  pemerintah  berhak  campur  tangan  dengan  mengeluarkan  peraturan-peraturan  yang  mengatur  permasalahan  wakaf  termasuk  pengawasannya.
Untuk  pengawas  wakaf  yang  sifatnya  perorangan  diperlukan  syarat  sbb:
    1. Berakal  sehat
    2. Baligh
    3. Dapat  dipercaya
    4. Mampu  melaksanakan  urusan-urusan  wakaf
      Bila  syarat-syarat  tersebut  tidak  terpenuhi,  hakim  berhak  menunjuk  orang
      lain  yang  mempunyai  hubungan  kerabat  dengan  wakif.  Bila  kerabat  juga
      tidak  ada,  maka  ditunjuk  orang  lain.  Agar  pengawasan  dapat  berjalan
      dengan  baik,  pengawas  wakaf  yang  bersifat  perorangan  boleh  diberi  imbalan
      secukupnya  sebagai  gajinya  atau  boleh  diambil  dari  hasil  harta  wakaf.
      Pengawas  harta  wakaf  berwenang  melakukan  perkara-perkara  yang  dapat
      mendatangkan  kebaikan  harta  wakaf  dan  mewujudkan  keuntungan
      -keuntungan  bagi  tujuan  wakaf,  dengan  memperhatikan  syarat-syarat  yang
      ditentukan  wakif.




7. RIBA DAN PERMASAHANNYA


A. Pengertian Riba

Riba menurut etimologi adalah kelebihan atau tambahan, menurut istilah riba artinya kelebihan pembayaran tanpa ganti rugi atau imbalan, yang disyaratkan bagis salah seorang dari dua orang yang melakukan transaksi Misalnya, Si A memberi pinjaman kepada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman dan sekian persen tambahnya

B. Dasar Hukum Keharaman Riba.

Sebagai dasar riba dapat diperhatikan Firman Allah SWT, dalam surat (Al- Baqoroh / 2:275) yang artinya sebagai berikut;
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Al- Baqoroh / 2:275)

Riba hanyalah berlaku pada benda – benda seperti emas, perak, makanan dan uang. Karena itu tidak diperbolehkan menjual emas dengan emas, perak dengan perak, kecuali jika harganya sebanding dan dilakukan dengan kontan. Tidak diperbolehkan menjual sesuatu barang, dimana barang tersebut belum berada ditangannya (misal A membeli barang tersebut kepada si B) Tidak diperbolehkan pula menjual daging dengan binatang yang masih hidup. Tidak diperbolehkan juga menjual emas dengan ditukar dengan perak yang harga nilainya tidak sebanding. Demikian pula menjual makanan, tidak diperbolehkan dijual dengan makanan sejenis, kecuali jika sebanding harganya. Tidak diperbolehkan pula jual beli barang sejenis daripadanya dengan barang yang tidak seimbang harganya. Tidak diperbolehkan pula beli barang yang belum menjadi miliknya, misalnya menjual burung yang bebas terbang di udara dan lain – lain.

C.       Macam – Macam Riba

Menurut para ulama, riba ada empat macam

a.        Riba Fadli, yaitu riba dengan sebab tukar menukar benda, barang sejenis (sama) dengan tidak sama ukuran jumlahnya. Misalnya satu ekor kambing ditukar dengan satu ekor kambing yang berbeda besarnya satu gram emas ditukar dengan seperempat gram emas dengan kadar yang sama.
b.      Riba Qardhi, yaitu riba yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau pinjam meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam atau yang berhutang. Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu juta Tiga ratus ribu rupiah). Terhadap bentuk transsaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti sabda Rasulullah Saw.:
Artinya: “Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi)

c.        Riba Nasi’ah, ialah tambahan yang disyaratkan oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) pembayaran utangnya. Misalnya si A meminjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan perjanjian waktu mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh tempo si A belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi tambahan pembayaran jika si B mau menunda jangka waktunya. Contoh lain, si B menawarkan kepada si A untuk membayar utangnya sekarang atau minta ditunda dengan memberikan tambahan. Mengenai hal ini Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa:
Artinya: Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)

d.      Riba Yad, yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima antara penjual dan pembeli. Misalnya, seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, sipenjual langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang apakah cukup atau tidak. Jual beli ini belum jelas yang sebenarnya. Sabda Rasulullah SAW.
Artinya: “Emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaknya serupa dan sama banyaknya, tunai dengan tunai, apabila berlainan jenisnya boleh kamu menjual sekehendamu asal tunai”. (Riwayat Muslim)

D.    Sebab – Sebab Diharamkannya Riba

Allah SWT melarang riba antara lain karena perbuatan tersebut dapat merusak dan membahayakan diri sendiri dan merugikan serta menyengsarakan orang lain

a.  Merusak Dan Membayakan Diri Sendiri
Orang yang melakukan riba akan selalu menghitung – hitung yang banyak yang akan diperoleh dari orang yang meminjam uang kepadanya. Pikiran dan angan–angan yang demikian itu akan mengakibatkan dirinya selalu was–was dan khawatir uang yang telah dipinjamkan itu tidak dapat kembali tepat pada waktunya dengan bunga yang besar.
Jika orang yang melakukan riba itu memperoleh keuntungan yang berlipat ganda, hasilnya itu tidak akan memberi manfaat pada dirinya karena hartanya itu tidak akan memberi manfaat pada dirinya karena hartanya itu tidak mendapat berkah dari Allah SWT.

b. Merugikan Dan Menyengsarakan Orang Lain Orang yang meminjam uang kepada orang lain pada umumnya karena sedang susah atau terdesak. Karena tidak ada jalan lain, meskipun dengan persyaratan bunga yang besar, ia tetap bersedia menerima pinjaman tersebut, walau dirasa sangat berat. Orang yang meminjam ada kalanya bisa mengembalikan pinjaman tepat pada waktunya, tetapi adakalanya tidak dapat mengembalikan pinjaman tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Karena beratnya bunga pinjaman, si peminjam susah untuk mengembalikan utang tersebut. Hal ini akan menambah kesulitan dan kesengsaraan bagi kehidupannya. Haram menjual barang yang belum diterima (oleh si penjual). menjual hewan dengan daging juga haram, hutang ditukar dengan hutang juga haram, begitupula dengan fuduly (si penjual bukan pemilik barangnya dan bukan sebagai wakil), menjual barang yang tidak dapat dilihat atau jual belinya orang yang tidak mukalaf, menjual barang yang tidak ada manfaatnya, menjual barang yang tidak bisa diserahkan, tanpa ijab qobul, menjual barang yang tidak di bawah hak milik seperti tanah mati atau orang merdeka, menjual barang yang samar atau najis, seperti anjing dan menjual barang yang memabukan atau yang diharamkan, semua adalah haram Haram menjual sesuatu yang halal dan suci kepada orang yang diketahui bahwa sesuatu itu akan digunakan untuk bermaksiat Haram menjual barang yang dapat memabukan dan menjual barang yangcacat tanpa diberitahukan cacatnya.

Harta peninggalan mayit tidak sah dibagi – bagikan atau dijual sekalipun hanya sedikit, seperenam dirham misalnya, selagi hutang – hutang simayit belum dilunasi, dan wasiat – wasiatnya harus dipenuhi. Jika belum naik haji, padahal sudah berkewajiban maka harus dipungutlah dulu ongkos untuk haji dan umrah sebelum diwaris, kecuali (boleh dijual) untuk memenuhi hal – hal diatas (untuk hutang – hutang / untuk haji/umrah). Jadi harta peninggalan mayit seperti digadaikan pada hal – hal di atas. Sebagaimana budak yang melukai, juga tidak boleh dijual sebelum dipenuhi hak yang berurusan dengan dirinya, kecuali jika yang memberi hutang (pada sayidnya) telah mengijinkan untuk menjual budak itu.
Haram melakukan (mempengaruhi) minat pembeli dengan maksud agar tidak membeli, kemudian disuruh membeli barang orang yang memepengaruhi tadi. Apabila sesudah barang ditetapkan (sudah sama – sama menyetujui antara penjual dan pembeli). Juga tidak boleh mempengaruhi penjual dengan maksud agar berpindah menjual kepadanya. Apabila jika dilakukan ketika masih hiyar, amat diharamkan (seperti masih tawan menawar). Haram pula membeli barang saat paceklik (harga pangan mahal) dan orang yang sangat membutuhkan bahan makanan, dengan tujuan untuk ditahan (disimpan) dan akan dijual bila dengan harga yang lebih mahal.

Haram berpura – pura nawar barang dengan harga mahal tapi tidak bermaksud ingin membeli tapi bermaksud membujuk orang lain (agar mau membeli dengan harga mahal).
Haram memisahkan antara budak perempuan dan anaknya sebelum tamyiz, semua itu haram. Demikian pula menipu atau berkhianat dalam urusan timbangan takaran, meteran, htungan dan atau berdusta.
Haram menjual kapuk atau lainnya dari barang – barang dagangan kepada pembeli, tetapi disamping menjual juga memberi hutangnya kepada si pembeli beberapa dirham. Kemudian harga barang lebih mahal, hal ini dilakukan oleh si penjual karena demi hutangnya tersebut. Demikian juga umpamanya, memberi hutang kepada pembuat tenun (atau penjahit) atau lainnya dari pekerjaan buruh, tapi sebelum diberi hutangnya, terlebih dahulu para peminta hutang itu disuruh dengan upah yang terlalu sedikit, demi hutang tersebut. Hal ini disebut dengan istilah rubtah, ini juga amat haram.
Haram memberi hutangan kepada para petani yang bayarnya secara tempo sampai saat panen, tapi dengan janji supaya hasil panen mereka dijual kepada si pemberi utangan tersebut dengan harga dibawah harga umum. Hal ini disebut dengan muqda.


                                    8. Konsep dan Perikatan Dalam Hukum Barat

A.  Konsep Perikatan
Dilihat dari segi sumbernya, perikatan itu ada yang lahir dari undang-undang dan ada yang lahir dari perjanjian serta sumber-sumber lain yang ditunjuk oleh undang-undang. Bagian hukum yang mengatur berbagai perikatan yang lahir dari bermacam-macam sumber dinamakan hukum perikatan (het verbintenissenrecht). Sedangkan hukum perjanjian (het overeenkomstenrecht) adalah salah satu bagian dari hukum perikatan, yaitu bagian hukum yang mengatur perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian saja.
Apabila dua orang atau pihak saling berjanji untuk melakukan atau memberikan sesuatu berarti masing-masing orang atau pihak mengikatkan diri kepada orang lain untuk melakukan atau memberikan sesuatu yang mereka perjanjikan, dengan demikian timbul ikatan serta hak dan kewajiban diantara keduanya. “Perikatan didefinisikan sebagai hubungan hukum menyangkut harta kekayaan antara dua pihak berdasarkan mana salah satu pihak dapat menuntut kepada pihak lain untuk memberikan, melakukan atau tidak melakukan sesuatu.”
B.   Sumber-Sumber Perikatan
Sumber-sumber yang melahirkan perikatan meliputi:
  1. perjanjian
  2. undang-undang saja, perikatan yang lahir dari undang-undang saja adalah perikatan yang kewajiban di dalamnya langsung diperintahkan oleh undang-undang seperti hak dan kewajiban yang timbul antara ayah dan anak dalam hal nafkah, dsb.
  3. undang-undang yang berkaitan dengan perbuatan orang, yang dibedakan menjadi :
·         perbuatan sesuai hukum (rechtmatige daad)
·         perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)

C.     Istilah dan Konsep Perikatan dalam Hukum Islam
Ada dua istilah yang terdapat dalam Islam berkaitan dengan perikatan.
  1. Iltizam untuk menyebut perikatan (verbintenis).
Iltizam merupakan istilah baru untuk menyebut perikatan secara umum. Semula iltizam digunakan untuk menunjukkan perikatan yang timbul dari kehendak sepihak saja, hanya kadang-kadang saja dipakai untuk perikatan yang timbul dari perjanjian. Sekarang ini iltizam digunakan untuk menyebut perikatan secara keseluruhan. Pengertian iltizam dalam hukum Islam adalah terisinya dzimmah (tanggungan) seseorang atau suatu pihak dengan suatu hak yang wajib ditunaikannya kepada orang atau pihak lain. Menurut Mustafa Az Zarqa mendefinisikan perikatan (iltizam) sebagai keadaan dimana sesorang diwajibkan menurut hukkum syara’ untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu bagi kepentingan orang lain.
  1. Akad untuk menyebut perjanjian (overeenkomst) dan kontrak (contract) yang merupakan istilah yang telah lama digunakan.
Ada dua orientasi hukum perikatan:
  1. orientasi yang bercirikan objektivisme, yaitu perikatan lebih dilihat dari sisi objeknya yang berupa hak dan kewajiban yang timbul dalam perikatan. Dalam hukum objektivisme penggantian subjek atau pemindahan hak-hak perikatan dari satu subjek ke lainnya dapat dilakukan dengan mudah, karena yang menjadi fokus adalah objeknya.
  2. orientasi yang bercirikan subjektivisme, yaitu perikatan lebih banyak dilihat pada segi hubungan antar subjek perikatan yaitu debitur dan kreditur dari segi objek perikatan itu sendiri. Konsekuensinya adalah jika terjadi perikatan antara dua pihak atau lebih, maka tidak dapat dilakukan penggantian dengan pihak lain.
D.     Macam-Macam Perikatan dalam Hukum Islam
Dilihat dari kaitannya dengan objek perikatan, secara garis besar ada empat macam perikatan:
  1. Perikatan Utang (al Iltizam bi ad Dain)
Kunci untuk memahami memahami konsep utang dalam hukum Islam adalah bahwa utang dinyatakan sebagai suatu yang terletak dalam dzimmah (tanggungan) sesorang. Sumber-sumber perikatan utang (al Iltizam bi ad Dain) dalam hukum Islam adalah sebagai berikut: yang pertama adalah akad, yang kedua adalah kehendak sepihak seperti wasiat, hibah, nazar yang objeknya adalah sejumlah uang atau benda, dan yang ketiga adalah perbuatan melawan hukum yaitu semua bentuk tanggungan (adh dhaman) yang timbul dari selain akad, seperti pencurian, perusakan yang objeknya adalah barang. Sumber yang keempat adalah pembayaran tanpa sebab, yang kelima adalah syara’ yaitu ketentuan syariah yang menetapkan kewajiban-kewajiban untuk melakukan pembayaran tertentu pada seseorang.
2.      Perikatan Benda (al Iltizam bi al ‘Ain)
Perikatan benda merupakan suatu hubungan hukum yang objeknya adalah benda tertentu untuk dipindahmilikkan baik bendanya, manfaatnya atau untuk diserahkan atau dititipkan kepada orang lain. Sumber-sumber perikatan benda adalah akad dan ini merupakan sumber paling penting dari perikatan benda, seperti jual beli atau sewa menyewa. Sumber lainnya adalah kehendak sepihak seperti wasiat, dan perbuatan melawan hukum juga dapat dijadikan sumber perikatan benda, seperti kasus gasab.
3.      Perikatan Kerja/ Melakukan Sesuatu (al Iltizam bi al ‘Amal)
Perikatan Kerja/ Melakukan Sesuatu (al Iltizam bi al ‘Amal) adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak untuk melakukan sesuatu. Sumbernya adalah akad istisna’ dan ijarah. Istisna’ adalah akad untuk melakukan sesuatu dimana bahan dan kerja dilakukan oleh pihak kedua atau pembuat. Sedangkan ijarah merupakan suatu akad atas beban yang objeknya adalah manfaat dan jasa. Akad ijarah ada dua yaitu ijarah al manafi (sewa menyewa) dan ijarah al a’mal (perjanjian kerja).
4.      Perikatan Menjamin (al Itizam bi at Tautsiq)
Perikatan menjamin merupakan suatu bentuk perikatan yang objeknya adalah menanggung (menjamin) suatu perikatan. Maksudnya pihak ketiga mengikatkan diri untuk menanggung perikatan pihak kedua terhadap pihak pertama.
Perikatan yang ditanggung ada tiga macam, yaitu perikatan utang, perikatan benda dan perikatan orang yang ditanggung dalam akad al kafalah bi an nafs.
E.  Sumber-Sumber Perikatan dalam Hukum Islam
Menurut para ahli hukum Islam modern, sumber-sumber perikatan dalam Islam (masadir al iltizam) ada lima macam :
  1. akad (al ‘aqad), akad dalam hukum Islam merupakan sumber penting bagi perikatan.
  2. Kehendak sepihak (al iradah al munfaridah)
  3. Perbuatan merugikan (al fi’l adh dharr)
  4. Perbuatan bermanfaat (al fi’l an nafi’)
  5. Syara’
F.  Dzimmah dalam Hukum Perikatan Islam
Para ahli hukum Islam menyatakan bahwa dzimmah adalah suatu wadah yang diandaikan adanya oleh hukum syariah pada orang (person) dan yang menampung hak-hak serta kewajiban-kewajiban.
Dzimmah pada orang mewujud selama ia hidup dan berakhir dengan kematiannya. Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang berakhirnya dzimmah dengan kematian seseorang, apakah dzimmah-nya harus dihapus sama sekali ketika ia meninggal dunia ataukah dzimmah itu masih bertahan beberapa waktu setelah meninggalnya. Ahli-ahli hukum Hanafi berpendapat bahwa dzimmah karena kematian seseorang tidak musnah sama sekali tetapi tidak pula bertahan utuh, melainkan melemah atau rusak. Ahli hukum Maliki berpendapat bahwa dzimmah musnah dengan kematian seseorang. Ahli hukum Syafi’i berpendapat bahwa dzimmah tetap berlangsung utuh setelah meninggalnya seseorang sampai utang-utangnya dibayar. Sedangkan menurut madzab Hambali, sebagian ahli hukumnya sejalan dengan ahli hukum Maliki dan sebagian lagi sependapat dengan fukaha Syfi’iyah.
G. ‘Ain dan Dain dalam Hukum Perikatan Islam
‘Ain adalah suatu hak kebendaan yang terkait langsung dengan benda tertentu, bukan benda lain. Dalam hukum Islam, ‘ain disamping mencakup hak kebendaan dala pengertian hukum barat meliputi pula hak-hak yang timbul dari perikatan yang objekya benda tertentu. Sedangkan dain adalah hak-hak yang tdak dikaitkan langsung kepada benda atau sesuatu tertentu, melainkan kepada sejumlah uang atau benda yang berada dalam tanggung jawab pihak debitur.
Contoh: apabila seseorang mempunyai koleksi sejumlah mata uang asing atau kuno, dan untuk keamanan ia menyerahkan ke sebuah bank dengan maksud untuk disimpan dalam safety box sebagai barang titipan yang pada suatu waktu akan diambil kembali fisik uangnya, maka perikatan orang tersebut dengan bank dan hak pemilik uang atas uangnya tersebut yang wajb dikembalikan fisiknya oleh bank adalah ‘ain. Akan tetapi jika ia menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito misal selama satu bulan, maka haknya atas uang tersebut pada waktu jatuh tempo adalah dain.
Dari contoh diatas, maka dapat dtarik kesimpulan bahwa keterkaitannya dengan dzimmah, dapat ditegaskan bahwa dain adalah suatu yang hak yang objeknya sejumlah uang atau benda dan terkait dengan dzimmah debitur. Sedangkan ‘ain adaah hak yang objeknya adalah benda yang sudah ditentukan, bukan benda lainnya serta tidak terkait kepada dzimmah.

9. HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA


A.          Pembahasan tentang Hukum Waris Islam

Setiap masalah yang dihadapi oleh manusia ada hukumya (wajib, sunat, haram, mubah), di samping ada pula hikmahnya atau motif hukumnya. Namun, hanya sebagian kecil saja masalah-masalah yang telah ditunjukan oleh Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang jelas dan pasti (clear dan fix statement), sedangkan sebagian besar masalah-masalah itu tidak disinggung dalam Al-Qur’an atau sunnah secara eksplisit, atau disinggung tetapi tidak dengan keterangan yang jelas dan pasti.
Hal yang demikian itu tidak berarti Allah dan Rasul-nya lupa atau lengah dalam mengatur syariat Islam tetapi justru itulah menunjukan kebijakan Allah dan Rasul-nya yang sanggat tinggi atau tepat dan merupakan blessing in disguise bagi umat manusia. Sebab masalah-masalah yang belum atau tidak ditunjukkan oleh Al-Qur’an atau sunnah itu diserahkan kepada pemerintah, ulama atau cendekiawan Muslim, dan ahlul hilli wal ‘aqdi (orang-orang yang punya keahlian menganalisa dan memecahkan masalah) untuk melakukan pengkajian atau ijtihad guna menetaplan hukumnya, yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat dan perkemmbangan kemajuannya.
Masalah-masalah yang menyangkut warisan seperti halnya masalah-msalah lain yang dihadpi manusia ada yang sudah dijelaskan permasalahannya dalam Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang kongkret, sehingga tidak timbul macam-macam interpretasi, bahkan mencapai ijma’ (konsensus) di kalangan ulama dan umat Islam. Misalnya kedudukan suami istri, bapak, ibu dan anak (lelaki atu perempuan) sebagai ahli waris yang tidak bisa tertutup oleh ahli waris lainnya dan juga hak bagiannya masing-masing.
Selain dari itu masih banyak masalah warisan yang dipersoalkan atau diperselisihkan. Misalnya ahli waris yang hanya terdiri dari dua anak perempuan. Menurut kebanyakan ulama, kedua anak perempuan tersebut mendapat bagian dua pertiga, sedangkan menurut Ibnu Abbas, seorang ahli tafsir terkenal, kedua anak tersebut berhak hanya setengah dari harta pusaka. Demikian pula kedudukan cucu dari anak perempuan sebagai ahli waris, sebagai ahli waris jika melalui garis perempuan, sedangkan menurut syiah, cucu baik melalui garis lelaki maupun garis perempuan sama-sama berhak dalam warisan.
Penyebab timbulnya bermacam-macam pendapat dan fatwa hukum dalam berbagai masalah waris adalah cukup banyak. Tetapi ada dua hal yang menjadi penyebab utamanya, yakni :
Metode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam melakukan ijtihad berbeda; dan
Kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad juga berbeda.
Hal-hal tersebut itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai mazhab atau aliran dalam hukum fiqh Islam, termasuk hukum waris. Maka dengan maksud mempersatukan dan memudahkan umat Islam dalam mencari kitab pegangan hukum Islam, Ibnu Muqqafa (wafat tahun 762 M) menyarankan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur agar disusun sebuah Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah,dan ra’yu yang sesuai dengan keadilan dan kemaslahatan umat. Khalifah Al-Mansur mendukung gagasan tersebut. Namun gagasan tersebut tak mendapat respon yang positif dari ulama pada waktu itu, karena ulama tak mau memaksakan pahamnya untuk diikuti umat, karena mereka menyadari bahwa hasil ijtihadnya belum tentu benar. Imam Malik juga pernah didesak oleh Khalifah Al-Mansur dan Harun al-Rasyid untuk menyusun sebuah kitab untuk menjadi pegangan umat Islam, karena setiap bangsa atau umat mempunyai pemimpin-pemimpin yang lebih tahu tentang hukum-hukum yang cocok dengan bangsa atau umatnya.
Turki adalah negara Islam yang dapat dipadang sebagai pelopor menyusun UU Hukum Keluarga (1326 H) yang berlaku secara nasional, dan materinya kebanyakan diambil dari maznab Hanafi, yang dianut oleh kebanyakan penduduk Turki.
Di Mesir, pemrintah membentuk sebuah badan resmi terdiri dari para ulama dan ahli hukum yang bertugas menyusun rancangan berbagai undang-undang yang diambil dari hukum fiqh Islam tanpa terikat suatu mazhab dengan memperhatikan kemaslahatan dan kemajuan zaman. Maka dapat dikeluarkan UU Nomor. 26 tahun 1920, UU Nomor 56 tahun 1923, dan UU Nomor 25 Tahun 1929, ketiga UU tersebut mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, nafkah, idah, nasab, mahar, pemeliharaan anak dan sebagainya. Hanya UU pertama yang masih diambil dari mazhab empat, sedangkan UU kedua dan ketiga sudah tidak terikat sama sekali dengan mazhab empat. Misal pasal tentang batas minimal usia kawin dan menjatuhkan talak tiga kali sekaligus hanya diputus jatuh sekali. Kemudian tahun 1926 sidang kabinet atau usul Menteri Kehakiman (Wazirul ‘Adl menurut istilah disana) membentuk sebuah badan yang bertugas menyusun rancangan UU tentang Al-Akhwal al-Syakhsiyyah, UU wakaf, waris, wasiat dan sebagainya. Maka keluarnya UU Nomor 77 Tahun 1942 tentang waris secara lengkap. Di dalam UU waris ini terdapat beberapa ketentuan yang mengubah praktek selama ini. Misalnya saudara si mati (lelaki atau permpuan) tidak terhalang oleh kakek, tetapi mereka bisa mewarisi bersama dengan kakek. Demikian pula pembunuhan yang tak sengaja menggugurkan hak seseorang sebagai ahli waris.
Di Indonesia hingga kini belum pernah tersusun Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap tentang Al-Akhwal al-Syakhsyiyah termasuk hukum waris, yang tidak berorientasi dengan mazhab, tetapi berorientasi dengan kemaslahatan dan kemajuan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, baik penyusunannya itu dilakukan oleh lembaga pemerintah atau lembaga swasta ataupun olah perorangan (seorang ulama).

B.        Pelaksanaan Hukum Waris Islam di Indonesia

Sejak berdirinya kerajaan-krajaan Islam di Nusantara (Demak dan sebagainya) dan juga pada zaman VOC, hukum Islam sudah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam.
Karena itu, pada waktu pemerintah kolonial Belanda mendirikan Pengadilan Agama. Di Jawa dan Madura pada tauhun1882 (Stb. 1882 Nomor 152) para pejabatnya telah dapat menentukan sendiri perkara-perkara apa yang menjadi wewenangnya, yakni semua perkara yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah, sedekah, Baitul Mal, dan wakaf. Sekalipun wewenang Pengadilan Agama tersebut tidak ditentukan dengan jelas.
Pada tahun 1937, wewenang pengadilan agama mengadili perkara waris dicabut dengan keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 untuk jawa dan Madura dan Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan.
Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan sampai Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia belum terbentuk secara resmi. Namun ia (pengadilan agama) tetap menjalankan tugasnya sebagai bagian dari Pengadilan Adat atau Pengadilan Sultan. Baru pada tahun1957 diundangkan PP Nomor 45 Tahun1957 yang mengatur Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan dengan wewenang yang lebih luas, yaitu disamping kasus-kasus sengketa tentang perkawinan juga mempunyai wewenang atas waris, hadhanah, wakaf, sedekah, dan Baitul Mal. Tetapi peraturan yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Agama harus dikuatkan oleh Pengadilan Umum tetap berlaku.
Menurut Daniel D. Lov, seorang sarjana Amerika yang menulis buku Islamic Courts in Indonesia, hasil penelitiannya pada Pengadilan Agama di Indonesia, bahwa pengadilan agama di Jawa dan Madura sekalipun telah kehilangan kekuasaanya atas perkara waris tahun 1937, namun dalam kenyataanya masih tetap menyelesaikan perkara-perkara waris dengan cara-cara yang sangat mengesankan. Hal ini terbukti, bahwa Islam lebih banyak yang mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama daripada ke Pengadilan Negeri. Dan penetapan Pengadilan Agama itu sekalipun hanya berupa fatwa waris yang tidak mempunyai kekuatan hukum, tetapi kebanyakan fatwa-fatwa warisnya diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bahkan di Jawa sudah sejak lama fatwa waris Pengadilan Agama diterima oleh notaris dan para hakim Pengadilan Negeri sebagai alat pembuktian yang sah atas hak milik dan tuntutan yang berkenaan dengan itu. Demikian pula halnya dengan pejabat pendaftaran tanah di Kantor Agraria.
Pada tahun 1977/1978 Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universita Indonesia mengadakan penelitian di lima daerah, yakni D.I. Aceh, Jambi, Palembang, DKI Jaya, dan Jawa Barat. Dan hasilnya antara lain adalah sebagai berikut :
Masyarakat Islam di lima daerah tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 91,35%, sedang yang menghendaki berlakunya hukum waris adat sebanyak 6,65%
Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama 77,16%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri 15,5%
Kemudian kedua lembaga tersebut di atas mengadakan penelitian pada tahun 1978/1979 di sembilan daerah, yakni : Jakarta Barat, Kota Cirebon, Kota Serang, Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Mataram dan sekitarnya, N.T.B., dan Kota Banjarmasin. Dan hasilnya antara lain adalah sebagai berikut :
Masyakarat Islam di sembilan daerah tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 82,9%, sedangkan yang menghendaki berlakunya hukum waris adat bagi mereka hanya 11,7%
Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama mengadili kasus warisnya sebanyak 68,3%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri sebanyak 27,7%.
Karena itu apabila sengketa warus yang terjadi antara orang Islam diajukan ke Pengadilan Negeri, maka seharusnya diputus menurut hukum waris Islam sesuai dengan agama yang bersangkutan berdasarkan isi pasal 131 dan juga Keputusan Mahkamah Agung Nomor 109K/Sip/1960 tanggal 20-9-1960, yang menyatakan bagi golongan pribumi berlaku hukum adat, sedangkan hukum faraid (hukum waris Islam) diberlakuka sebagai hukum adat, karena merupakan the living law dan menjadi cita-cita moral dan hukum bangsa Indonesia.
Karena itu, patut disesalkan apabila kasus-kasus warisan keluarga Muslim seperti kasus warisan H. Subhan Z.E. diputus oleh Pengadilan Negeri menurut hukum adat pada tanggal 16 Maret 1973 (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dengan pertimbangan antara lain, “Walupun pewaris/almarhum H. Mas Subhan adalah seorang tokoh Islam di Indonesia tidak berarti dapat diberlakukan hukum waris Islam oleh karena almarhum/pewaris berasal dan tempat tinggal di Jawa”.
Jelaslah, bahwa hakim Pengadilan Negeri yang mengadili kasus H. Subhan Z.E. tersebut masih menganut teori resepsi yang telah “usang” itu. Sebab UUD 1945 sebagai konstitusi RI dengan sendirinya telah menghapus Indische Staatsregeling sebagai konstitusi yang dibuat pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu. Sebagai salah satu fakta yang menunjukkan teori resepsi telah ditinggalkan, ialah UU Perkawinan Nomor 1/1974. Sebab di dalamnya terdapat beberapa pasal dan penjelasannya yang menunjukkan peranan agama untuk sahnya perkawinan dan perjanjian perkawinan dan sebagainya tanpa ada embel-embel “yang telah diterima oleh hukum ada”.


        
10. Al BAI’ ( JUAL-BELI )

A.                Pengertian Jual-Beli

Jual-Beli (albaingu) artinya menjual, mengganti dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang lain).Kata al-baingu dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata: as-siraau (beli). Dengan demikian kata : al-baingu berarti kata “jual” dan sekaligus juga berarti kata “beli”.
Sedangkan secera istilah jual-beli adalah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan Syara’ dan disepakati. Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun,dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan jual-beli sehingga bila  syarat –syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak Syara’.
Benda dapat mencakup pengertian barang dengan uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat  dinilai, yakni benda-benda yang berharga dan dapat dibenarkan penggunanya menurut Syara’. Benda itu adakalanya tetap (tidak dapat dipindahkan), ada yang dapat dibagi-bagi, ada kalanya tidak dapat dibagi-bagi, ada harta yang ada perumpamaannya (mitsli) dan tak ada yang menyerupainya (qimi) dan yang lain-lainnya. penggunaan harta tersebut diperbolehkan sepanjang tidak dilarang Syara’.Benda-benda seperti alkohol, babi, dan barang terlarang lainnya haram diperjual belikan sehingga jual-beli tersebut dipandang batal dan jika dijadikan harga penukar, maka jual-beli tersebut dianggap fasid.
Jual-beli menurut Ulama Malikiyah ada dua macam, yaitu jual-beli yang bersifat umum dan jual-beli yang bersifat khusus.
Jual-beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan adalah akad yang mengikat dua belah pihak. Tukar menukar yaitu salah satu pihak menyerahkan ganti penukaran atas sesuatu yang ditukarkan oleh pihak lain. Dan sesuatu yang bukan manfaat ialah bahwa benda yang ditukarkan adalah zat (berbentuk), ia berfungsi sebagai objek penjualan, jadi bukan mafaatnya atau bukan hasilnya.

Jual-beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai daya tarik, penukarannya bukan mas dan bukan pula perak, bendanya dapat direalisir dan ada seketika(tidak ditamgguhkan), tidak merupakan utang baik barang itu ada dihadapan si pembeli maupun tidak barang yang sudah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.

B.                 Hukum Jual Beli      
Para Ulama fiqih mengambil suatu kesimpulan, bahwa jual beli itu hukumnya mubah (boleh). Namun menurur Imam asy-Syatibi(ahli fiqih Mazhab Imam Maliki, hukumnya bisa berubah menjadi wajib dalam situasi tertentu. Sebagai contoh Bila suatu waktu terjadi ihtiar, yaitu penimbunan barang, sehingga persediaan(stok) hilang dari pasar dan harga menjolak naik. Apabila terjadi praktek semacam itu, maka pemerintah boleh memaksa para pedagang menjual barang-barang sesuai dengan harga pasar sebelum terjadi pelonjakan harga barang itu. Para pedagang wajib memenuhi  ketentuan pemerintah didalam menentukan harga dipasaran.

C.                Rukun dan Syarat Jual-Beli
Agar perjanjian/akad jual-beli yang dibuat oleh para pihak mempunyai daya ikat, maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat dan rukunnya.
Menurut Jumhur Ulama rukun jual- beli itu ada empat :
1.      Orang yang berakad (penjual dan pembeli)
2.      Sighat (lafal ijab dan Kabul)
3.      Ada barang yang dibeli
4.      Ada nilai tukar pengganti barang
Menurut Jumhur Ulama, bahwa syarat jual-beli sesuai dengan rukun jual-beli yang disebutkan di atas adalah sebagai berikut.
a.          Syarat orang yang berakad
Ulama fiqih sepakat, bahwa orang yang melakukan akad jual-beli harus memenuhi syarat.
Ø  Berakal. Bahwa yang melakukan akad  jual-beli itu, harus telah akil baligh dan berakal. Apabila orang yang berakal itu masih mumayyiz, maka akad jual-beli itu tidak sah, sekalipun mendapat izin dari walinya.
Ø  Orang yang melakukan akad itu, adalah orang yang berbeda. Maksudnya, seseorang tidak dapat bertindak sebagai pembeli dan penjual dalam waktu yang bersamaan.

b.      Syarat yang terkait dengan ijab dan Kabul
      Apabila ijab dan Kabul telah diucapkan dalam akad jual-beli, maka pemilikan barang dan uang telah berpindah tangan.
      Adapun syarat ijab dan Kabul itu adalah sebagai berikut:
Ø  Orang yang mengucapkannya telah akil baligh dan berakal (Jumhur Ulama ) atau telah berakal (Ulama Mazhab Hanafi), sesuai dengan perbedaan mereka menentukan syarat-syarat sepaerti telah dikemukakan di atas.
Ø  Kabul sesuai dengan ijab.
Ø  Ijab dan Kabul dilakukan dalam satu majlis.

c.       Syarat yang diperjualbelikan
Ø  Barang itu ada, atau tidak ada ditempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk menggandakan barang itu, pada saat diperlukan barang itu sudah ada dan dapat dihadirkan pada tempat yang telah disepakati bersama.
Ø  Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
Ø  Milik seseorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang, tidak boleh diperjualbelikan, seperti memperjual-belikan iakan dilaut, emas dalam tanah, karena ikan dan emas itu belum dimiliki penjual.
Ø Dapat diserahkan pada saat akad berlangsung, atua pada waktu yang telah disepakati bersama ketika akad berlangsung.

d.      Syarat nilai tukar (harga barang)
   Nilai tukar barang adalah termasuk unsur  yang terpenting. Berkaitan dengan nilai tukar ini, ulumu fiqih membedakan antara as-tsamm dan as-Si’r.
   Menurut mereka, as-tsamm adalah harga pasar yang berlaku ditengah-tengah masyarakat, sedangkan as-Si’r adalah modal barang yang seharunya diterima para pedagang sebelum dijual kepada konsumen. Dengan demikian, ada dua harga, yaitu harga antara sesama pedagang dan harga antara pedagang dan konsumen (harga jual pasar ). Harga yang dapat dipermainkan para pedagang adalah as-tsamn, bukan harga as-aSi’r.

      Ulama fiqih mengemukakan syarat as-tsamn,sebagai berikut:
Ø  Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jamlahnya.
Ø  Dapat diserahkan pada saat waktu akad (transaksi), sekalipun secara hukum seperti pembayaran dengan cek atau kartu kredit.
Ø  Apabili jual beli itu dilakukan secara barter maka barang yang dijadikan nilai tukar, bukan barang yang diharamkan syara’seperti babi dan khamar karena kedua jenis benda itu tidak bernilai dalam pandangan syara’.

D.    Macam-macam Jual Beli
              Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hokum dan batal menurut hukum, dari segi objek jual beli dan segi pelaku jual beli.
              Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk.
1.      Jual beli benda yang kelihatan
        Pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada didepan penjual dan pembeli.

2.      Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya
        Jual beli salam(pesanan), untuk jual beli yang tidak tunai (kontan), salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu. Maksudnya ialah perjanjian yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan dengan masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad.

3.      Jual beli benda yang tidak ada
        Jual beli yang dilarang oleh agama Islam karena barangnya tidak tentu atau masih gelap sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak.

        Jual beli yang dilarang dan hukumnya adalah sebagai berikut :
a.       Barang yang dihukumkan najis oleh agama, seperti anjing, babi,berhala, bangkai, dan khamar.
b.      Jual beli sperma(mani) hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan betina agar dapat memperoleh keturunan.
c.       Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya.
d.      Jual beli dengan muhaqallah. Baqalah berarti tanah, sawah, dan kebun, maksud muhaqalah disini ialah menjual tanaman-tanaman yang masih diladang atau sawah. Hal ini dilarang agama sebab ada persangkaan riba didalamnya.
e.       Jual beli dengan munabbadzah, yaitu jual beli secara lempar melempar,seperti seorang berkata “lemparkan kepadaku apa yamg ada padamu, nanti kulemparkan pula padamu apa yamg ada padaku.
E.              Khiyar Dalam Jual Beli
      Dalam jual beli, menurut agama islam dibolehkan memilih, apakah akan meneruskan jual beli atau akan membatalkannya. Karena terjadi oleh sesuatu hal, khiar dibagi menjadi tiga macam yaitu:
a.       Khiar majelis,artinya antara penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya, selama keduannya masih ada dalam satu tempat (majelis).
b.      Khiar syarat, yaitu penjualan yang didalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual maupun pembeli, seperti orang berkata, “saya jual rumah ini seharga 100 juta dengan syarat khiar-selama tiga hari.
c.       Khiar aib,atinya dalam jual beli ini diisyaratkan kesempurnaan benda-benda yang dibel, seperti orang berkata,”saya beli mobil itu seharga sekian, bila mobil itu cacat akan saya kembalikan.

F.           Unsur Kelalain Dalam Jual Beli
      Dalam jual beli bisa saja terjadi kelalaian, baik dari pihak penjual maupun dari pihak pembeli, baik pada saat terjadi akad, maupun sesudahnya. Menurut ulama fiqih, bentuk kelalaian dalam jual beli diantaranya.
a.       Barang yang dijual itu, bukan milik penjual (barang titipan, jaminan hutang ditangan penjual, barang curian).
b.      Sesiai perjanjian, barang tersebut harus diserahkan pembeli pada waktu tertentu, tetapi ternyata barang tidak diantarkan dan tidak tepat waktu.
c.       Barang tersebut rusak sebelum sampai ke tangan pembeli.
d.      Barang tersebut tidak sesuai dengan contoh yang telah disepakati. Dalam kasus-kasus seperti ini, risikonya adalah ganti rugi dari pihak yang lalai.










                 


                 


































































































Tidak ada komentar:

Posting Komentar